WALI DALAM PERNIKAHAN
Pengertian Wali
Wali” lalah suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Wali ada yang umum
dan ada yang khusus. Yang khusus, ialah berkenaan dengan manusia dan harta
benda. Di sini yang dibicarakan wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian
dalam perkawinan. Yang mana menjadi wali ada syarat-syaratnya :
merdeka, berakal sehat dan dewasa, baik yang itu
penganut Islam maupun bukan. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat
menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya
sendiri apalagi terhadap orang lain.
Syarat keempat untuk menjadi wali ialah beragama
Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula, sebab yang bukan
Islam tidak boleb menjadi walinya orang Islam. [1]
1. Allah telah herfirman:
Artinya
: “ Dan Allah tidak
akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir, menguasai orang-orang
mukmi
2. nikah tidak sah tanpa wali sebagai mana hadist berikut
عن
ابى مو سى رضى لله عنه عن نبى صلى عليه و سلم قا ل : لا نكا ح الا بو لى
Artinya : “ Dari Abu Musa ra. Dari nabi saw. Bersabda
: “ tidaklah sah pernikahan tanpa wali
Begitu pula Rasullah Saw. Bersabda :
لا نكا ح ا لا بو لى
وشا هد ى عد ل وما كا ن من نكا ح غير ذ لك فهو با طل
Artinya : tidak sah suatu pernikahn tanpa seorang wali dan dua orang
saksi yang adil. Dan pernikahan yang mana pun yang tidak demikian adalah batal.
وعن سليما ن بن مو سى عن الز هرى عن عر و ة عن عا ءشة رى لله عنها : ا ن نبى
صلى لله عليه و سلم قا ل ايما امراة نكحت بغير اذ ن وليها فنكا حها با طل فاان د خل بها فلها المهر بما استحل من فرجها
فان اشجروا فا لسلطا ن ولي من لا ولي له
Artinya : “Dan dari Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari ‘Urwah,
dari Aisyah ra. Bahwa nabi saw. bersabda : “ wanita mana pun yang kawin tanpa
seizing walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal. Bila (telah dikawinkan dengan sah dan ) telah di
setubuhi, maka ia berhak menerima maskawin
( mahar ), karena ia telah dini’ mati kemaluannya dengan halal. Namun,
kalau terjadi pertengkaran di antara para wali maka pemerintahlah yang menjadi
wali siapa pun yang tidak punya wali.
عن ابى مو سى ان رسوللله عليه
و سلم قا ل لا نكا ح الا بولي( رواهاحمد وابو داودوالترمزى وابن حبا ن
والحكم
وصححاه)
Artinya : “Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasullah saw. Bersabda : “Tidak
sah nikah tanpa wali[2]
Wali Sebagai Syarat Sahnya Nikah
Ulama berbeda pendapat, apakah wali menjadi syarat
sahnya nikah atau tidak.
Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat
bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.
Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy-Sya’bi dan az-Zuhri
berpendapat bahwa apabila seseorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa
wali, sedang calon suaminya sebanding (kufu’), maka nikahnya itu boleh. [3]
Abu dawud memisahkan antara gadis dan janda dengan
syarat adanya wali pada gadis dan tidak mensyaratkan kepada janda. Pendapat
lain mengatakan bahwa persyaratan wali itu hukumnya sunah bukan fardu, karena
mereka berpendapat bahwa adanya waris mewarisi antara suami dan istri yang
perkawinannya terjadi tanpa menggunakan wali, juga wanita terhormat itu boleh
mewakilkan kepada seorang laki-laki untuk menikahkannya. Imam Malik juga
menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya untuk menikahkannya.[4]
Macam-Macam Wali
Macam-Macam Wali
Wali nikah ada empat macam, yaitu: wali nasab,
wali hakim, wali tahkim, dan wali maula.
a. Wali
Nasab
Wali Nasab adalah wali nikah karena ada
hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan
wali nasab, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama fikih. Imam Malik
mengatakan bahwa, perwalian itu didasarkan atas keasabahan, kecuali anak
laki-laki, dan keluarga terdekat lebih berhak menjadi wali.
Selanjutnya, ia mengatakan anak laki-laki sampai
kebawah lebih utama, kemudian ayah sampai keatas, kemudian saudara-saudara
lelaki seayah seibu, kemudian saudara lelaki seayah saja, kemudian anak
lelaki dari saudara- saudara lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah,
sampai keatas.
Al-Mugni berpendapat bahwa kakek lebih utama dari
pada saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki, karena kakek adalah asal,
kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urut-urutan
saudara-saudara lelaki sampai kebawah, kemudian bekas tuan (Almaula),
kemudian penguasa.
Imam Syafi’I memegangi keasabahan, yakni bahwa
anak lelaki tidak termasuk asabah seorang wanita, berdasarkan
hadist Umar r.a, yang artinya:
“ Wanita tidak boleh menikah kecuali dengan ijin
walinya, atau orang cerdik dari kalangan keluarganya, atau penguasa.”
Sedangkan Imam Malik tidak menganggap asabah pada
anak berdasarkan hadis Ummu salamah r.a, yang artinya:
“sesungguhnya Nabi SAW. Menyuruh anaknya (yaitu
anak Ummu Salamah) untuk menikahkan (ibunya) terhadap beliau”
Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urut-urutan wali adalah sebagai
berikut:
1.
Ayah,
2. Ayahnya
ayah (kakek) terus keatas,
3. Saudara
laki-laki seayah seibu,
4.
Saudara laki-laki seayah saja,
5.
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu,
6.
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
7.
Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki
seayah seibu,
8. Anak
laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
9. Anak
laki-laki no 7
10. Anak
laki-laki no. 8 dan seterusnya,
11. Saudara
laki-laki ayah, seayah seibu,
12. Saudara
laki-laki ayah, seayah saja,
13. Anak
laki-laki no. 11,
14. Anak
laki-laki no. 12,
15. Anak
laki-laki no. 13, dan seterusnya.
Singkatnya urutan wali adalah:
1.
Ayah seterusnya keatas,
2.
Saudara laki-laki kebawah,
3. Saudara
laki-laki ayah kebawah.
Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab
(dekat) dan wali ab’ad (jauh). Dalam urutan diatas yang termasuk wali
aqrab wali no. urut 1, sedang no.2 menjadi wali ab’ad. Jika no. 1
tidak ada, maka no. 2 menjadi wali aqrab, dan no. 3 menjadi wali
ab’ad, dan seterusnya.
Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab’ad adalah
sebagai berikut:
1.
Apabila wali aqrabnya non muslim
2.
Apabila wali aqrabnya fasik
3.
Apabila wali aqrabnya belum dewasa
4.
Apabila wali aqrabnya gila
5.
Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.[5]
Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau
qadi. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Maka
hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.”
Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah:
kepala pemerintahan sulthon, khalifah (pemimpin), penguasa (roiis)
atau qadi nikah yang diberi wewenang dari kepala negara untuk menikahkan wanita
yang berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka wali
hakim dapat diangkat orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut.
Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
1.
Tidak ada wali nasab
2.
Tidak cukup syarat-syarat wali aqrab atau wali ab’ad
3.
Wali aqrab ghaib atau pergi dalam perjalanan sejauh dua
hari perjalanan
4.
Wali aqrab dipenjara atau tidak bisa ditemui
5.
Wali akrabnya adol
6.
Wali aqrabnya berbelit-belit atau mempersulit
7.
Wali aqrabnya ihram
8.
Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah
9.
Wanita yang akan dinikahi gila, tetapi sudah dewasa
dan wali mujbir tidak ada.
Wali hakim tidak berhak menikahkan:
1.
Wanita yang belum balig
2.
Kedua belah pihak tidak tidak sekufu’
3.
tanpa seijin wanita yang akan menikah
4.
diluar daerah kekuasaan.[6]
Wali Tahkim
Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami
dan atau calon istri. Adapun calon pengangkatannya (cara tahkim) adalah calon suami mengucapkan
tahkim, dengan calon istri dengan kalimat: “Saya angkat bapak/saudara untuk
menikahkan saya pada si… (calon istri) dengan mahar…dan putusan bapak/saudara saya
terima dengan senang.” Setelah itu calon istri mengucapkan hal yang sama.
Kemudian calon hakim itu menjawab, “saya terima tahkim ini.”
Wali tahkim ini terjadi apabila:
1.
Wali nasab tidak ada,
2.
Wali nasab ghaib, atau bepergian sejauh dua hari
perjalanan, serta tidak ada wakilnya disitu.
3.
Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan
rujuk (NTR).
Wali Maula
wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya,
artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada
dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan yang
dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
Wali Mujbir dan Wali A‘Dol
Bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti
orang gila, perempuan yang belum mencapai umur mumayyiz, termasuk diantaranya
perempuan yang masih gadis, maka boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya.
Yang dimaksud berlakunya wali mujbir yaitu seorang
wali berhak menikahkan perempuan yang diwalikan diantara golongan tersebut
tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang
diwalikan tanpa melihat ridho atau tidaknya.
Agama mengakui wali mujbir itu karena memperhatikan
kepentingan orang yang diwalikan, sebab orang tersebut kehilangan kemampuan
sehingga tidak mampu memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk dirinya sendiri.
Disamping itu ia belum bisa menggunakan akalnya untuk mengetahui kemaslahatan
akad yang akan dihadapinya.
Adapun yang dimaksud dengan ijbar (mujbir) ialah hak
seorang ayah (keatas) untuk menikahkan anak gadis nya tanpa persetujuan yang
bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu. Dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
1.
Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan
yang menjadi wiliyat (calon pengatin wanita).
2.
Calon suaminya sekufu’ dengan calon istri, atau yang
lebih tinggi.
3.
Calon suami sanggup membayar mahar pada saat
dilangsungkan akad nikah.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
hak mijbar menjadi gugur. Sebenarnya ijbar bukan harus diartikan sebagai
paksaan, tetapi lebih cocok diartikan sebagai pengarahan.
Wali yang tidak mujbir adalah:
1.
Wali selain ayah
2.
Waliyat terhadap wanita-wanita yang sudah balig, dan
mendapat persetujuan dari yang bersangkutan.
3.
Bila calon pengantin wanitanya janda, maka izinnya
harus jelas baik secara lisan ataupun tulisan.
4.
Bila calon pengantinnya gadis maka cukup dengan diam.
Apabila wali itu tidak mau menikahkan yang sudah
balig, yang akan menikah dengan pria yang sudah kufu’, maka dinamakan wali
adol.
Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian langsung pindah
kepada wali hakim bukan kepada wali ab’ad, karena adol adalah zalim, sedangkan
yang menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Tapi jika adolnya sampai
tiga kali, berarti dosa besar dan fasiq maka perwaliannya berpindah kewali
ab’ad.[7]
3. Hadis-hadis
rasulullah saw tentang wali
َ قالَ يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا
ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ ح و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَاعَنْبَسَةُ
حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ
الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النِّكَاحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ
أَنْحَاءٍ فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى
الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوْ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ
آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا
أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا
يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي
تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِذَا
أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ
هَذَا النِّكَاحُ نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ
مَا دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا
فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ
حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ
يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا تَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي
كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ تُسَمِّي مَنْ
أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ
بِهِ الرَّجُلُ وَنِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ
فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ
الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ تَكُونُ عَلَمًا
فَمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ إِحْدَاهُنَّ وَوَضَعَتْ
حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا
بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَ بِهِ وَدُعِيَ ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ
فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ هَدَمَ
نِكَاحَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ النَّاسِ الْيَوْمَ
Artinya: Telah berkata Yahya bin Sulaiman Telah menceritakan kepada
kami Ibnu Wahb dari Yunus -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada
kami Ahmad bin Shalih Telah menceritakan kepada kami Anbasah Telah menceritakan
kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah
bin Zubair bahwa Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah
mengabarkan kepadanya bahwa; Sesungguhnya pada masa Jahiliyah ada empat macam
bentuk pernikahan. Pertama, adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang
pada saat sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian memberikannya mahar lalu
menikahinya. Bentuk kedua yaitu; Seorang suami berkata kepada isterinya pada
saat suci (tidak haidl/subur), "Temuilah si Fulan dan bergaullah
(bersetubuh) dengannya." Sementara sang suami menjauhinya sementara waktu
(tidak menjima'nya) hingga benar-benar ia positif hamil dari hasil
persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif hamil,
barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan hal itu,
hanya untuk mendapatkan keturuan yang baik. Istilah nikah ini adalah Nikah Al
Istibdlaa'. Kemudian bentuk ketiga; Sekelompok orang (kurang dari sepuluh)
menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan melahirkan.
Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun
mengirimkan surat
kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak.
Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun
berkata, "Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu. Dan aku telah
melahirnya, maka anak itu adalah anakmu wania Fulan." Yakni, wanita itu
memilih nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang
ditunjuk tidak dapat mengelak. Kemudian bentuk keempat; Orang banyak berkumpul,
lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi yang
orang yang telah menggauli sang wanita. Para
wanita itu adalah wanita pelacur. Mereka menancapkan tanda pada pintu-pintu
rumah mereka sebagai tanda, siapa yang ingin mereka maka ia boleh masuk dan
bergaul dengan mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu
melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu
dipanggilkanlah orang yang ahli seluk beluk nasab (Alqafah), dan Al Qafah
inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya
sebagai bapaknya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang
itu tidak bisa mengelak. Maka ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
diutus dengan membawa kebenaran, beliau pun memusnahkan segala bentuk
pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakoni oleh orang-orang hari
ini.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ
عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ { وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى } قَالَتْ الْيَتِيمَةُ تَكُونُ عِنْدَ الرَّجُلِ وَهُوَ
وَلِيُّهَا فَيَتَزَوَّجُهَا عَلَى مَالِهَا وَيُسِيءُ صُحْبَتَهَا وَلَا يَعْدِلُ
فِي مَالِهَا فَلْيَتَزَوَّجْ مَا طَابَ لَهُ مِنْ النِّسَاءِ سِوَاهَا مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad Telah mengabarkan
kepada kami Abdah dari Hisyam dari bapaknya dari Aisyah Terkait dengan firman
Allah, "WA IN KHIFTUM ANLAA TUQSIMUU FIL YATAAMA.." Ia berkata;
"Maksudnya adalah seorang anak perempuan yatim yang terdapat pada seorang
laki-laki, yakni walinya. Kemudian sang wali pun
menikahinya lantaran ingin mendapatkan hartanya, namun bergaul dengannya dengan
tidak baik, dan tidak pula bersikap adil pada hartanya, maka dari itu hendaklah
ia menikahi wanita lain dua, tiga atau empat."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar