http://mahasiswacerdasdankreatif.blogspot.com

Selasa, 06 Januari 2015

SAKSI DALAM PERNIKAHAN


SAKSI DALAM PERNIKAHAN


Hukum Menyaksiskan Akad Nikah
            Kehadiran saksi dalam suatu akad nikah atau penentu sah dalam akad nikah. Pendapat Imam Malik, kehadiran saksi pada saat akad nikah, tidak wajib (fardhu) tetapi cukup dengan pemberitahuan (diumumkan) kepada orang banyak, bahwa akad nikah itu telah berlangsung seperti mengadakan resepsi perkawinan atau dengan cara lain. Jadi kesaksian itu tetap perlu dan sekiranya kedua suami isteri itu bercampur sebelum kesaksian (dikatahui) oleh orang lain, hak keduanya mesti dipisahkan.[1] 
            Kata Malik, hadirnya saksi dikala akad ikah tidak difardhukan, yang difardhukan adanya orang yang mengetahui perkawinan dikala diketahui yakni perkawinan itu walau tidak disaksikan waktu akad asal saja perkawinan itu diumumkan / persandingannya diresmikan.[2]
            Menurut pendapat yang mu’tamat dikalangan Malikiyah (bukan Imam Malik), saksi menjadi syarat sah suatu perkawinan. Sebagai landasan kehadiran saksi dalam akad nikah adalah hadits Aisyah, nabi Muhammad saw bersabda:

”Tidak sah nikah tanpa wai dan dua orang saksi yang adil” (H.R. Dara Quthny dan Ibn Majah).
            Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. ”Pendapat Abu Hanifah dan Ahmad: Persaksian dikala akad nikah (syahadah diketika akad) dipardhukan apabila tidak ada saksi di akad nikah ini mugkin tidak sah.
            Kata Abu Tsaur dan segolongan ualama: ”Saksi tidak diperlukan”. Syafi’i Hanbali dan Hanafi sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil, namun mereka berpendapat bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak sah.[3]
            Malik dan ulama hadits berpendapat bahwa saksi itu bukan syarat sah, karena Klint hafly ”laa illaaha dlin hadits” tidak sah perkawinan kecuali dengan wali dan orang orang saksi yang adil” menunjukkan makna kesempurnaan (hlitinam) bukan keabsahan (ushihnah). Karena itu Imam Malik dan ulama hadits, mengatakan adanya saksi dalam perdkawinan di dha’if, oleh karena Malik berpendapat bahwa dalil tentang imperative adanya saksi dalam perkawinan merupakan dalil qath’iy, tapi hanya dimaksudkan sad al-dzari’ah. dan menurutnya saksi tidak wajib dalam akad nikah, tetapi perkawinan tersebut di i’lankan sebelum dukhu dan saksi bukanlah syarat sah perkawinan.[4]
            Kata Abu Hanifah : sah saksi itu terdiri dari seorang laki-laki dan dua orang perempuan dan syah pula orang fasik menjadi saksi.[5]
            Sementara Imam Imamiyah berpendapat bahwa: kesaksian dalam perkawinan hukumnya istihbab, dianjurkan dan bukan merupakan kewajiban.[6]

B. Syarat-syarat Saksi
            Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi persyaratan:
  1. Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi, karena kehadiran saksi itu disamping menyaksikan akad, juga menyaksikan pemberitahuan bahwa akad nikah itu telah berlangsung
  1. Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mimayyiz (menjelang baligh), karena kesakiannya menerima pemberitahuan dan menghormati acara pernikahan itu belum pantas
  1. Mendengarkan dan memahami ucapan ijab dan qabul
Saksi harus mendengarkan dan memahami icapan ijab dan qobul, antara wali dengan calon pengantin laki-laki.
  1. Laki-laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pedapat jumhur ulama selain Hanafiyah. Dua orang saksi harus laki-laki dan tidak sah akad nikah bila yang menjadi saksi wanita semua, atau seorang laki-laki dan dua orang wanita.[7]        
  1. Bilangan Jumlah Saksi
Saksi sekurag-kurangnya dua orang, sebagaimana telah disebutkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Dara Quthny dan Ibnu Hibban
  1. Adil
Saksi harus ornag yang adil, walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapt jumhur ulama. Syafiiyah malahan menegaskan bahwa pernikahan dianggap tfidak sah, bila saksinya fasik (lihat hadits riwayat Dara Quthny dan Ibnu Hibban).
  1. Islam
Dua orang saksi itu harus muslim menurut kesepakatan ulama, namun menurut Hanafiyah, ahli kitab pun dapat menjadi saksi seperti kasus seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah
  1. Melihat
Saksi harus orang yang dapat melihat dan tidak dapat diterima orang buta

C. Waktu Menyaksikan Akad Nikah
            Jumhur ulama selain Malikiyah berpendapat, bahwa kesaksian itu diperlukan pada saat akad nikah, agar saksi itu mendengar pada saat ijab dan qobul. Sekiranya berlangsung akad nikah tanpa saksi, maka fasidlah nikah itu.
            Sedangkan Malikiyah mempunyai pandangan lain, bahwa saksi memang menjadi syarat sah nikah, tetapi kehadirannya boleh pada saat akad nikah dan boleh pula disaksikan pada waktu lain seperti pada saat resepsi asal belum bercampur kedua mempelai.[8]


D. Hikmah Menyaksikan Akad Nikah
            Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Logikanya memang demikian, sebab suatu pernikahan yang dilandasi oleh inta kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak (calon besan), tidak perlu disembunyikan. Bila ada saksi pada saat akad nikah itu dalam keadaan terpaksa atau ada kesan nikah itu dalam keadaan terpaksa atau ada sebab-sebab lain yang dipandang oleh orang negatif. Oleh karena itu, disunahkan mengadakan resepsi perkawinan(Walimatu’ursy).
            Kesaksian akad nikah tentang perselisihan pata ulama. Menurut pendapat saya yang paling kuat adalah pendapat Abu Hanifah. Kehadiran saksi pada saat akad nikah itu wajib dan amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan rumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya uang lahir dari istrinya itu. Dan supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menhindari fitnah dan tuhinah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo. Sebagai nabi Muhammad saw bersabda:

”Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil


[1] Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, (Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 2000), hlm. 145-146.
[2] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 233.
[3] Muhammad Jawad, Mleighniyah, Fiqh Lima Mazhab,  (Jakarta : Lentera, 2007), hlm. 313. 
[4] http:/id. Shvoong. Com/humanines/moslem.studies/1746657. Saksi Akad Nikah Menurut Imam.
[5] Ibid., hlm. 234.
[6] Ibid.,hlm. 314.
[7] Ibid.,hlm. 149-151.
[8] Ali Hasan Op.cit., hlm. 152-153.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar