SAKSI DALAM PERNIKAHAN
Hukum Menyaksiskan Akad Nikah
Kehadiran
saksi dalam suatu akad nikah atau penentu sah dalam akad nikah. Pendapat Imam
Malik, kehadiran saksi pada saat akad nikah, tidak wajib (fardhu) tetapi cukup
dengan pemberitahuan (diumumkan) kepada orang banyak, bahwa akad nikah itu
telah berlangsung seperti mengadakan resepsi perkawinan atau dengan cara lain.
Jadi kesaksian itu tetap perlu dan sekiranya kedua suami isteri itu bercampur
sebelum kesaksian (dikatahui) oleh orang lain, hak keduanya mesti dipisahkan.[1]
Kata
Malik, hadirnya saksi dikala akad ikah tidak difardhukan, yang difardhukan
adanya orang yang mengetahui perkawinan dikala diketahui yakni perkawinan itu
walau tidak disaksikan waktu akad asal saja perkawinan itu diumumkan /
persandingannya diresmikan.[2]
Menurut
pendapat yang mu’tamat dikalangan Malikiyah (bukan Imam Malik), saksi menjadi
syarat sah suatu perkawinan. Sebagai landasan kehadiran saksi dalam akad nikah adalah
hadits Aisyah, nabi Muhammad saw bersabda:
”Tidak sah nikah tanpa wai dan dua orang saksi
yang adil” (H.R. Dara Quthny dan Ibn Majah).
Kehadiran
saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan
kerukunan berumah tangga terutama menyangkut kepentingan istri dan anak,
sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari
istrinya itu. ”Pendapat Abu Hanifah dan Ahmad: Persaksian dikala akad nikah
(syahadah diketika akad) dipardhukan apabila tidak ada saksi di akad nikah ini
mugkin tidak sah.
Kata
Abu Tsaur dan segolongan ualama: ”Saksi tidak diperlukan”. Syafi’i Hanbali dan
Hanafi sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi
memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan
dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil, namun mereka berpendapat
bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak sah.[3]
Malik
dan ulama hadits berpendapat bahwa saksi itu bukan syarat sah, karena Klint
hafly ”laa illaaha dlin hadits” tidak sah perkawinan kecuali dengan wali dan
orang orang saksi yang adil” menunjukkan makna kesempurnaan (hlitinam) bukan
keabsahan (ushihnah). Karena itu Imam Malik dan ulama hadits, mengatakan adanya
saksi dalam perdkawinan di dha’if, oleh karena Malik berpendapat bahwa dalil
tentang imperative adanya saksi dalam perkawinan merupakan dalil qath’iy, tapi
hanya dimaksudkan sad al-dzari’ah. dan menurutnya saksi tidak wajib dalam akad
nikah, tetapi perkawinan tersebut di i’lankan sebelum dukhu dan saksi bukanlah
syarat sah perkawinan.[4]
Kata
Abu Hanifah : sah saksi itu terdiri dari seorang laki-laki dan dua orang perempuan
dan syah pula orang fasik menjadi saksi.[5]
Sementara
Imam Imamiyah berpendapat bahwa: kesaksian dalam perkawinan hukumnya istihbab,
dianjurkan dan bukan merupakan kewajiban.[6]
B. Syarat-syarat Saksi
Orang
yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi persyaratan:
- Berakal
Orang gila tidak dapat
dijadikan saksi, karena kehadiran saksi itu disamping menyaksikan akad, juga
menyaksikan pemberitahuan bahwa akad nikah itu telah berlangsung
- Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi
saksi, walaupun sudah mimayyiz (menjelang baligh), karena kesakiannya menerima
pemberitahuan dan menghormati acara pernikahan itu belum pantas
- Mendengarkan dan memahami ucapan ijab dan qabul
Saksi harus mendengarkan dan memahami
icapan ijab dan qobul, antara wali dengan calon pengantin laki-laki.
- Laki-laki
Laki-laki merupakan
persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pedapat jumhur ulama selain
Hanafiyah. Dua orang saksi harus laki-laki dan tidak sah akad nikah bila yang
menjadi saksi wanita semua, atau seorang laki-laki dan dua orang wanita.[7]
- Bilangan Jumlah Saksi
Saksi sekurag-kurangnya dua
orang, sebagaimana telah disebutkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Dara
Quthny dan Ibnu Hibban
- Adil
Saksi harus ornag yang adil,
walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapt jumhur
ulama. Syafiiyah malahan menegaskan bahwa pernikahan dianggap tfidak sah, bila
saksinya fasik (lihat hadits riwayat Dara Quthny dan Ibnu Hibban).
- Islam
Dua orang saksi itu harus
muslim menurut kesepakatan ulama, namun menurut Hanafiyah, ahli kitab pun dapat
menjadi saksi seperti kasus seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah
- Melihat
Saksi harus orang yang dapat
melihat dan tidak dapat diterima orang buta
C. Waktu Menyaksikan Akad Nikah
Jumhur
ulama selain Malikiyah berpendapat, bahwa kesaksian itu diperlukan pada saat
akad nikah, agar saksi itu mendengar pada saat ijab dan qobul. Sekiranya
berlangsung akad nikah tanpa saksi, maka fasidlah nikah itu.
Sedangkan
Malikiyah mempunyai pandangan lain, bahwa saksi memang menjadi syarat sah
nikah, tetapi kehadirannya boleh pada saat akad nikah dan boleh pula disaksikan
pada waktu lain seperti pada saat resepsi asal belum bercampur kedua mempelai.[8]
D. Hikmah Menyaksikan Akad Nikah
Saksi
adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Logikanya memang
demikian, sebab suatu pernikahan yang dilandasi oleh inta kasih dan disetujui
oleh kedua belah pihak (calon besan), tidak perlu disembunyikan. Bila ada saksi
pada saat akad nikah itu dalam keadaan terpaksa atau ada kesan nikah itu dalam
keadaan terpaksa atau ada sebab-sebab lain yang dipandang oleh orang negatif.
Oleh karena itu, disunahkan mengadakan resepsi perkawinan(Walimatu’ursy).
Kesaksian akad nikah tentang perselisihan
pata ulama. Menurut pendapat
saya yang paling kuat adalah pendapat Abu Hanifah. Kehadiran saksi pada saat
akad nikah itu wajib dan amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan
kerukunan rumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak,
sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya uang lahir dari
istrinya itu. Dan supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan
tidak kalah pentingnya adalah menhindari fitnah dan tuhinah (persangkaan
jelek), seperti kumpul kebo. Sebagai nabi Muhammad saw bersabda:
”Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi
yang adil
[1]
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, (Jakarta
: PT. Raja Grapindo Persada, 2000), hlm. 145-146.
[2]
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum
Fiqh Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 233.
[4]
http:/id. Shvoong. Com/humanines/moslem.studies/1746657.
Saksi Akad Nikah Menurut Imam.
[5] Ibid., hlm. 234.
[6] Ibid.,hlm. 314.
[7] Ibid.,hlm. 149-151.
[8] Ali Hasan Op.cit., hlm. 152-153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar