http://mahasiswacerdasdankreatif.blogspot.com

Minggu, 28 Desember 2014

POLIGAMI

POLIGAMI

                   Pendahuluan
Nikah merupakan sunnah Nabi yang harus kita ikuti, siapa yang tidak mengikuti sunnah ku bukan dari golonganku kata Rasul. Akad perkawinan merupakan ikatan yang suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Untuk itu perkawinan harus di pelihara dengan baik sehingga bisa abadi, namun sering kali kita dapati masalah-masalah seperti poligami.
Poligami ini adalah beristri lebih dari satu banyak pendapat tentanghal ini karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai poligami dan dasar hukum yang membolehkan poligami.

 Pengertian Poligami
Poligami adalah beristri lebih dari satu jika kita dapat atau bisa berlaku adil kita boleh-boleh saja beristri dua, tiga atau empat. Tapi jika kita takut atau tidak bisa berlaku adil maka kawinilah satu saja.
Allah SWT berfirman bahwa “Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim perempuan yang berada di bawah perwalianmu/yang ingin kamu mengawininya maka carilah wanita lain untuk menjadi istrimu, dua, tiga, empat sesuka hatimu, namun terhadap istri-istri yang lebih dari satu itu kamu takuti dapat berlaku adil dalam perlakuan terhadap mereka mengenai pelayanan, pakaian, tempat giliran bermalam dan lain-lain maka hendaklah kamu beristri satu orang saja”.[1]


Hukum Poligami Islam
Menurut imam Syafi’I berdasarkan sunnah Rasulullah tidaklah diperbolehkan seorang beristri lebih dari empat. Pendapat ini telah menjadi ijma’ (disepakati bulat oleh para ulama, terkecuali segolongan ulama syi’ah yang berpendapat bahwa seorang boleh beristri lebih dari empat orang sampai sembilan, bahkan ada yang tidak membatasi dengan suatu bilangan).
Hadis Rasulullah yang menunjukkan seorang muslim boleh beristrikan lebih dari satu sampai empat, diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Ibnu Syihab bahwa Ghailah bin Salam beristrikan sepuluh orang tatkala ia masuk Islam. Oleh Rasulullah disuruh memilih empat dari sepuluh istri itu menurut Albalnaqi bahwa dengan hadis ghailan itu Rasulullah jelas-jelas melarang orang mempunyai istri lebih dari empat.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Alharits bin Qais bahwa Umairah Al-Asadi bercerita: “Tatkala aku masuk Islam aku mempunyai delapan orang istri ketika aku beritahukan hal itu kepada Rasul SAW. Bersabda beliau kepaku memerintahkan:

Artinya: “Pilihan empat orang di antara mereka”
Diriwayatkan oleh Imam Syafi’I bahwa Naufal bin Mu’awiyah berkata, “Tatkala aku masuk Islam dengan beristerikan lima orang, bersabda Rasulullah SAW. Memerintahkan kepada ku”:
Artinya: “Pilihlah empat diantara mereka itu, mana yang engkau sukai dan ceraikanlah yang lain”. Maka aku ceraikanlah istriku yang tertua dan mandul yang telah menjadi istriku selama enam puluh tahun.[2]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim dari ayahnya bahwa Ghalan bin Salaman masuk Islam selama ia memiliki sepuluh istri maka Rasulullah SAW bersabda pada zaman Umor, maka Ghailan menceraikan istri-istrinya dan membagikan hartanya di antara anak-anaknya, saya menduga bahwa syetan mencuri pembicaraan, setan mendorong ihwal kepadamu kemudian merasukinya kepadamu, boleh jadi kamu tidak akan hudup kecuali sebentar demi Allah rujukilah kembali isteri-istrimu atau saya akan mewarisi mereka darimu dan menyuruh orang-orang mendatangi kuburmu kemudian melempari seperti dilemparinya kuburan Abu Raqhal.[3]
Dari pendapat-pendapat diatas maka dapat kita pahami bahwa beristri lebih dari sari, dua sampai empat boleh-boleh saja asalkan kita bisa berlaku adil, dalam memberi nafkah pakaian, tempat tinggal dan giliran bermalam dan jika kita kawatir akan tidak dapat adil diantara mereka sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Sekalai kamu tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kamu begitu menginginkan berbuat adil maka kita kawin dengan 1 orang istri saja”

MAHAR DALAM PERNIKAHAN



MAHAR DALAM PERNIKAHAN     

   
 Pengertian Mahar
Secara bahasa mahar adalah suatu benda yang diberikan seorang pria kepada seorang wanita yang disebut dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuaan antara pria dan wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri. Mahar sering juga disebut dengan mas kawin.
Dalam referensi lain mengatakan bahwa mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya, atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya).[1]
Sementara mahar menurut fuqaha adalah nama sebagai sesuatu yang menjadi hak perempuan disebabkan akad nikah atau hubungan sebadan. Lebih spesifik lagi adalah pengertian yang dikemukakan oleh Imam Mazhab sebagai berikut:
  1. Mazhab Maliki mendefenisikan mahar sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli.
  2. Mazhab Syafi’i mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayar disebabkan akad nikah atau senggama.
  3. Mazhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai jumlah harta yang menjadi hak istri karena akad perkawinan atau disebabkan terjadinya senggama dengan sesungguhnya. Mazhab Hanbali mendefinisikan mahar sebagai imbalan suatu perkawinan baik disebut sacara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak maupun ditentukan oleh hakim..[2]
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan dapat digaris bawahi bahwa mahar tersebut adalah pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Kewajiban membayar mahar tersebut disebabkan karena dua hal, yaitu karena adanya akad nikah dan karena senggama sungguhan (bukan senggama karena zina). Kompilasi hukum Islam pasal 30 pun merumuskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
mahar dalam pernikahan 

  Syarat-Syarat Mahar
Berkenaan dengan istilah mahar, Wahbah Zuhaili, ada 10 (sepuluh) istilah yang disepadankan maknanya dengan kata mahar yaitu sidaq, sedaqah, nihlah, ajru, faridah, hiba, uqar, alaiq, thaul, nikah.
Kata mahar sendiri dalam Al-Qur’an tidak digunakan, akan tetapi yang digunakan adalah kata saduqah, sebagai mana yang terdapat dalam surah An-Nisa:4. pengertian saduqah dalam ayat tersebut adalah mahar atau maskawin.

Jumat, 12 Desember 2014

AKAD NIKAH

A.  Pendahuluan
      Pernikahan adalah suatu ikatan yang dapat menyatukan dua insan antara laki-laki dan wanita untuk hidup bersama. Tetapi untuk melaksanakan pernikahan, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Karena rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.
      Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan, tetapi perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Tetapi semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan salah satunya yaitu akad nikah atau perkawinan.
      Pada kesempatan kali ini kami pemakalah diberikan kepercayaan untuk sedikit mengulas tentang rukun pernikahan dalam hal ini adalah akad nikah. Kami akan membahas tentang definisi, lafadz yang boleh digunakan dalam akad nikah dan dalam hal ini para ulama banyak mengeluarkan pendapat tentang hal tersebut dan hal-hal lain yang terkait dengan akad nikah.
      Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan umumnya untuk kita semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan baik dalam penulisan maupun pembahasan kami memohon maaf yang sebesar-besarnya dan kami menerima setiap komentar, kritik dan saran untuk dapat memperbaiki makalah kami yang kami sadari penuh dengan kekurangan.
B.  Pembahasan
1.   Pengertian Akad Nikah
               Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. [1] Ijab adalah lafadz yang berasal dari wali atau orang yang mewakilinya, sedangkan qabul adalah lafadz yang berasal dari suami atau orang yang mewakilinya.
2.   Syarat Ijab Qabul
         Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[2] :
a.             Kedua mempelai sudah tamyiz.
Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz, maka pernikahan tidak sah.
b.            Ijab qabulnya dalam satu majlis..
Yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qabul. Hal ini diperkuat di dalam KHI Pasal 27[3] bahwa ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak diselangi waktu. Hal ini juga didukung oleh Syafi’i dan Hanbali, sementara Maliki penyelingan yang sekedarnya, misalnya oleh khutbah nikah yang pendek tidak apa-apa. Sedangkan mazhab Hanafi[4] tidak mensyaratkan segera.
c.             Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab.
d.            Pihak-pihak yang melakukan aqad harus dapat mendengarkan pernyataan masing-masingnya. Dikuatkan pula di dalam KHI Pasal 27 bahwa ijab dan qabul harus jelas sehingga dapat didengar.
3.   Lafadz Dalam Ijab Qabul
         Ibnu Taimiyah mengatakan, aqad nikah ijab kabulnya boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya nikah.
         Para Ulama Mazhab sepakat bahwa nikah itu sah bila dilakukan dengan menggunakan redaksi “aku mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi “aku terima” atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya.[5] Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah yang tidak menggunakan redaksi fi’il madhi atau menggunakan lafadz selain nikah atau kawin.
         Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafadz at-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan dengan lafadz al-ijarah (upah) atau al-‘ariyah (pinjaman), sebab kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas. [6]
         Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah jika menggunakan lafadz al-nikah dan al-zawaj. Juga dianggap sah dengan lafadz al-hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mas kawin, selain kata-kata tersebut di atas tidak dianggap sah.
         Sementara itu, mazhab Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata dari lafadz al-tazwij dan al-nikah saja, selain itu tidak sah.[7]
4.   Ijab Qabul Orang Bisu
         Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya. Tetapi Pengadilan Agama (Mesir) dalam pasal 28 menetapkan bahwa orang bisu yang bisa menulis, pernyataan dengan isyarat dianggap tidak sah.[8]
5.   Mendahulukan Pihak Perempuan Atau Laki-Laki
         Dalam akad nikah itu tidak disyaratkan harus mendahulukan salah satu pihak. Jadi mendahulukan pihak laki-laki atau perempuan itu sama saja (sah). Sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab fiqh dan andaikata salah satu akad tersebut tidak benar, maka dalam kitab Syarkhur Raudahh[9] diterangkan bahwa kesalahan dalam susunan kata-kata tidak merusakkan.
         Sesungguhnya kesalahan dalam redaksional selama tidak merusak pengertian yang dimaksud, seyogyanya disamakan dengan kesalahan dalam tata bahasa, sehingga tidak berpengaruh pada keabsahannya.
         Di dalam kitab mughni muhtaj pun dikatakan bahwa ijab boleh dilakukan oleh sang calon suami, sedangkan qabulnya diucapkan oleh wali sang mempelai wanita.








DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:
         Kencana, 2007.

 Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Penerjemah Moh. Tholib. Bandung:
         PT. Alma’arif, 1980.

Tim Redaksi. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: FOKUSMEDIA,
        2007.

Al-Jaziri, Abdur Rahman. Kitabul Fiqh Al-Arba’ah. Beirut: Daarul
        Fikr, 2003.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Penerjemah,
        Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff. Jakarta: LENTERA, 2005.
Ahkamul Fuqaha : Solusi Problematika Aktual Hukum Islam. Penerjemah,  
        M. Djamaluddin Miri. Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004.

Ibnu Khatib Asy-Syarbini, Syamsuddin Muhammad. Mughni Muhtaj.         
  Beirut: Daarul Ma’rifah, 1997.



[1]   Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2007). Hal. 61
[2]  Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah Jilid 6. (Bandung: PT. Alma’arif, 1980). Hal. 53
[3] Tim Redaksi  FOKUSMEDIA. Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: FOKUSMEDIA, 2007).  Hal. 13.
[4]  Abdur Rahman al-Jaziri. Kitabul Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah Juz 4. (Beirut: Daarul Fikr, 2003). Hal. 14.
[5]  Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: LENTERA, 2005). Hal. 309.
[6] Abdur Rahman al-Jaziri. Kitabul Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah Juz 4. (Beirut: Daarul Fikr, 2003). Hal. 13.
[7]  Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: LENTERA, 2005). Hal. 311.
[8]  Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2007). hal. 59.
[9]  Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam. (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004). Hal. 120.

Kamis, 11 Desember 2014

TALAK IDDAH DAN RUJUK

 TALAK IDDAH DAN RUJUK

Talak
Pengertian Talak 
Talak terambil dari kata “Ithlaq” yang menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan. Menurut istilah syara’ talak yaitu  melepaskan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.
Talak  adalah perceraian melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan lafadz yang tertentu, misalnya suami berkata terhadap istrinya: “ Engkau telah ku talak” dengan ucapan ini ikatan nikah itu telah menjadi lepas, artinya suami istri telah menjadi bercerai. 
Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga telah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in. sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua , dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak  raj’i.
Rukun talak 
Rukun talak ada tiga, yaitu:
Suami yang mentalak; dengan syarat baligh berakal dan kehendak sendiri.
Istri yang ditalak.
Ucapan yang digunakan untuk mentalak.
Macam-macam Talak
Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu: 
Talak raj’i
Talak bain
Dari dua macam talak tersebut, kemudian bisa dilihat dari beberapa segi, antara lain:
Dari segi masa idah, ada tiga, yaitu:
Idah haid atau suci
Idah karena hamil
Idah dengan bulan
Dari segi keadaan suami, ada dua:
Talak mati
Talak hidup
Dari segi proses atau prosedur terjadinya, ada tiga:
Talak langsung oleh suami
Talak tidak langsung, lewat hakim (Pengadilan Agama)
Talak lewat hakamain
Dari segi baik tidaknya, ada dua:
Talak Sunni
Talak bid’iy
Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu dan istri benar-benar sudah digauli. Sebagai mana Firman Allah SWT :
                        …….      
“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah…….” (QS. Albaqarah: [2]: 229)
Oleh karenanya manakala istri telah dicerai dua kali kemudian dirujuk atau dinikahi setelah selesai masa idahnya sebaiknya ia tidak diceraikan lagi. Pada hakikatnya talak yang lebih dari dua kali itu tidak dilarang oleh Allah SWT, tetapi yang dilarang adalah rujuknya kembali setelah itu. Sebanyak-banyaknya talak adalah 3 kali dan sekurang-kuranya talak adalah 1 kali. 
Ditinjau dari segi ucapan talak dan lafaznya, talak terbagi menjadi dua yaitu:
Talak dengan terang-terangan
Talak dengan sindiran.
 Ditinjau dari segi sifat syariatnya, talak menjadi dua:
Talak sunni
Talak sunni yaitu talak yang terjadi sesuai ketentuan agama, yaitu seorang suami mentalak istrinya yang telah dicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh kembali dimasa bersihnya.
Dikatakan talak sunni mempunyai tiga syarat:
Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli
Istri dapat segera melakukan idah suci. 
Talak kitu dijatuhkan ketika istrri dalam keadaan suci. Dalam masa suci itu suami tidak pernah mengumpulinya.
Talak Bad’i
Talak  bad’i ialah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. talak bad’i talak yang dilakukan bukan menurut petunjuk syariah, baik mengenai waktunya baik cara-caramenjatuhkannya. Ulama sepakat bahwa talak bad’i, dari segi jumlah talak ialah sekaligus, mereka juga sepakat bahwa talak bad’i itu haram dan melakukannya dosa. 
Talak Bad’i antara lain:
Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu istri tersebut haid.
Talak yang dijatuhkan yerhadap istri pada waktu istri dalam keadaan suci tetapi sudah pernah dikumpuli suaminya ketika dia dalam keadaan suci tersebut.
Firman Allah SWT :
         ……………    
“ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…..” (QS. At-Talaq: 1).
Ditinjau dari segi waktu kejadian telak terbagi dua yaitu:
Talak Munajjas (kontan)
Talak majjas adalah talak yang tidak duigantungkan kepada syarat dan tidak pula disandarkan kepada suatu masa yang akan datang, umpamanya: suami berkata kepada istrinya, “engkau aku talak.”
Talak Mua’llaq
Talak mua’llak ialah talak dijatuhnya disandarkan pada suatu masa yang akan datang. Umpamanya: suami berkata kepada istrinya, “engkau tertalak besok.”
Talak Bain
Talak baain adalah talak yang suami tidak boleh rujuk kembali kepada bekas istrinya, melainkaan mesti dengan akad baru.
Talak bain terbagi menjadi 2 bagian:
Talak sughra 
Talak sughra ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada istri bekas istrinya itu. 
Yang termasuk dalam talak bain sughra ialah:
Talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang belum terjadi dukhul (setubuh)
Khulu’
Talak Bain Kubra
Talak bain kubra adalah talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas istri.
Yang termasuk dalam talak bain kubra ialah:
Talak tiga
Hukum Talak Dalam Islam
Stabilitas rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami istri adal tujuan utama adanya perkawinan dan hal ini sangat diperhataikan oleh syariat islam. Meskipun suami oleh hukum islam diberi menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan suami menggunakan haknya itu dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi hanya menurutkan hawa nafsunya untuk mentalak. 
Talak hukumnya wajib
Jika perbalahan suami isteri tidak dapat didamaikan lagi.
Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka.
Apabila pihak kadi berpendapat bahawa talak adalah lebih baik.
Jika tidak diceraikan keadaan sedemikian, maka berdosalah suami
Talak hukumnya Haram
Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas.
Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi.
Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut harta pusakanya.
Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekali gus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih.
Talak hukumnya sunnah
Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya.
Isterinya tidak menjaga maruah dirinya.
Talak hukumnya makruh 
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama.
Talak hukumnya harus
Suami yang lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus haidnya.
Iddah
Pengertian iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci. 
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
Macam-macam Masa iddah
Masa iddah ini terbagi atas 4 macam, yaitu:
Iddah masa kehamilan, yaitu waktunya sampai masa kelahiran kandungan yang dikarenakan thalaq ba’in (perceraian yang mengakibatkan tidak kembali kepada suaminya) atau talaq raj’i (perceraian yang dapat kembali kepada suaminya) dalam keadaan hidup atau wafat. Firman Alloh ‘azza wa jalla:
………….         ……………   
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
Iddah muthlaqah (masa perceraian), yaitu masa iddah yang terhitung masa haidh, maka wanita menunggu tiga quru’ (masa suci), sebagaimana firman Alloh ‘azza wa jalla:
     ………………..    
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Yaitu 3 kali masa haidh.
Perempuan yang tidak terkena haidh, yakni ada dua jenis perempuan yaitu perempuan usia dini yang tidak/belum terkena haidh dan perempuan usia tua yang telah berhenti masa haidhnya (menopause), seperti dijelaskan Alloh ‘azza wa jalla tentang masa iddah dua jenis perempuan ini:
              ……………….   
 “Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.” (QS. At-Thalaq: 4)
Istri yang ditinggal suaminya karena wafat, Alloh menjelaskan masa iddahnya sebagai berikut:
          ……….     
 “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234)
Perempuan dalam masa iddah
Perempuan yang ta’at dalam’iddah raj’iyyah berhak menerima dari bekas suaminya, tempat tinggal, pakaian dan segala belanja, kecuali istri durhaka, yang tidak ta’at kepada bekas suaminya.
Firman allah dalam Al-Quran :
      …….    
“tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu “
Perempuan yang dalam iddahnya yang tidak dapat ruju’, kalau ia mengandung, berhak menerima kediaman, nafkah dan pakaian, selama masa iddahnya. Kalau iya tidak mengandung, hanya berhak menerima makanan dan pakaian.
Yang dalam iddah wafat mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun ia mengandung, karena ia dan anak dalam kandungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya.
Ruju’
Pengertian Ruju
Ruju ialah suami kembali kepada istrinya yang telah dicerai ( bukan talak ba’in ), yang masih dalam masa iddah kepada nikah asal yang sebelum diceraikan dalam waktu tertentu.
Suami meruju kepada istrinya selama masa iddah yang boleh di ruju.
Rukun Ruju
Suami yang meruju’.
Istri yang di ruju’.
Ucapan yang menyatakan ruju’ (shighat)
Saksi . 
Menurut Al-Quran dalam surah ath-thalaq ayat 2, bahwa saksi dalam Ruju itu diperlukan sebagaimana dinyatakan :
               ………    
“apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. 
Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa ruju itu tidak perlu dengan saksi. Alasan mereka berdasarkan firman allah SWT berikut:
   ………….     
        “ dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu”
SYARAT-SYARAT RUJU‘
 Suami:
Hendaklah seorang yang berakal.
 Baligh.
Dengan kehendak dan kerelaan sendiri bukan paksaan daripada sesiapa.
Tidak murtad.
Isteri:
Hendaklah yang sudah dicampuri.
Mestilah yang diceraikan dengan talaq raj‘iyy. Bukan dengan perceraian secara fasakh, khul‘ dan juga talaq tiga.
Hendaklah ditentukan orangnya jika suami berkahwin lebih daripada satu dan telah menceraikan beberapa orang isterinya.
Hendaklah tidak dihadkan kepada sesuatu masa dan waktu. Tidak sah ruju‘ dalam masa yang tertentu sahaja.
Tidak bergantung kepada sesuatu syarat. Ruju‘ disyari‘atkan adalah bertujuan untuk membolehkan suami isteri yang telah bercerai dengan talaq raj‘iyy meneruskan kembali ikatan perkahwinan mereka yang telah terputus dengan syarat isteri masih lagi dalam ‘iddah. Tetapi perlu diingat bahawa ruju‘ hendaklah dengan tujuan untuk berdamai bukan kerana ingin menyakiti, menganiaya isteri dan sebagainya.
Hukum Rujuk
Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia belum menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut.
Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
Sunat Sekiranya mendatangkan kebaikan.
Syarat-syarat sah kawin semula selepas talak tiga ialah:
selesai iddah dari suami pertama.
bekas isteri berkawin dengan lelaki lain.
suami kedua sudah melakukan persetubuhan dengannya.
bercerai dengan suami kedua, fasakh, atau mati (habis iddah)
Setelah tamat iddahnya, suami pertama boleh kembali bekas isterinya itu dengan akad nikah yang baru mengikut syarat-syarat dan rukun-rukun nikah yang ditetapkan
Rujuk secara bengurau dianggap sah walaupun dilakukan secara main-main dan tanpa saksi.
 Hikmat rujuk
Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan   kerukunan numah tangga.
Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
Dapat menimbulkan kesadaran untuk lebih bertanggungjawab dalam soal rumahtangga.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Thalak adalah melepaskan ikatan nikah dari suami dengan mengucapkan lafaz tertentu, misalnya suami mengatakan kepada isterinya; “saya thalak engkau”, dengan ucapan tersebut lepaslah ikatan pernikahan dan terjadilah perceraian. Thalak menurut hukum asalnya adalah makruh, karena talak merupakan perbuatan yang halal tetapi paling tidak disukai oleh Allah SWT
Iddah berarti sejumlah waktu ( hari ) untuk menunggu bagi perempuan dan tidak boleh untuk menikah setelah wafat suaminya atau berpisah denganya. Dikalangan para ulama fiqh terdapat banyak pendapat dalam memberikan pengertian iddah. Menurut ulama Hanafiah, iddah berarti saat-saat tertentu menurut syara’ untuk menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan perkawinan. dengan kata lain saat menunggu bagi wanita ketika berpalingnya perkawinan atau yang serupa. Sedangkan menurut ulama jumhur, Iddah berarti saat menunggu bagi perempuan (istri) untuk mengetahui kekosongan rahimnya, atau untuk beribadah, atau keadaan bersedih-berduka cita terhadap perkawinanya, yang berakhir.
Rujuk dan segi bahasa kembali atau pulang. Dari segi istilah hukum syarak rujuk bermaksud mengembalikan perempuan kepada nikah selepas perceraian kurang daripada tiga kali dalam masa idah dengan syarat-syarat tertentu.
Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini bisa dijadikan salah satu referensi sebagai suatu pengetahuan kepada pembaca sekalian utamanya penyusun, semoga dengan adanya makalah ini bias member manfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Al-Ghazali. 2010. Fiqih munakahat. Jakarta: Kencana
 Abdullah Yusup daghfaq. 1991. Wanita Berpisahlah ke Rumah Tangga. Jakarta: Gema Insan Press
Abu Bakr, Taqiy Al-Din, bin Muhammad. Kifayatul Akhyar. Damaskus. Tth, Juz 2
Djamaan NU. 1993.  Fiqih Munakahat. Semarang: Dina Utama (Toha Putra Grup) 
H.M.A Tihami, dan Sobari Sahrani. 2010. Fikih Munakahat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Moh Rifa’i. 1978. Fikih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Sidi Gazlab. 1975. Menghadapi soal-soal perkawinan. Jakarta: Pustaka Antara 
Slamet Abidin, dan Aminnudin. 1999. Fikih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia
Yusuf Abdullah. 1991. Daghlaq, Wanita Berpisah Kerumah Tangga. Jakarta: Gema Insan Press
Zakiah Drajat. 1885. Ilmu Fikih. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
http://deltapapa.wordpress.com/2008/04/15/talak-dan-cerai/
http://newrupa.blogspot.com/2011/02/pengertian-iddah.html