AKAD NIKAH MELALUI TEHNOLOGI MUTAKHIR
Konsep Dasar Akad Nikah
Pengertian dan Akibat Akad
Pernyataan kehendak yang biasanya disebut sebagai sighat
akad, yakni suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan
qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan
menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama.
Ijab dan qabul ini merepresentasikan perizinan (ridha, persetujuan) yang
menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban
yang ditimbulkan dari akad.[1]
Agar ijab dan qabul ini menimbulkan akibat hukum, maka
disyaratkan dua hal yaitu:
Ø Adanya
persesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai adanya persesuaian
kehendak sehingga terwujud kata sepakat.
Ø Persesuaian
kehendak tersebut haruslah disampaikan dalam satu majelis yang sama (kesatuan
majelis)
Perjanjian yang dipegangi
adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan
manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang
mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan
melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat
menyatakan kehendak batin tersebut. Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan
dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah
kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang
digunakan untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagai sighat
akad.[2]
Bentuk-Bentuk Akad
Bentuk-Bentuk Akad
Dalam hukum perjanjian Islam, pernyataan
kehendak sebagai manifestasi eksternal ini, dapat dinyatakan dalam berbagai
bentuk:[3]
1. Pernyataan
kehendak secara lisan, di mana para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam
bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan
qabul yang dilakukan oleh para pihak. Pernyataan kehendak melalui ucapan itu
harus jelas maksudnya dan tegas isinya. Ijab dan qabul dapat dilakukan secara
langsung dan dapat juga dilakukan dengan tidak berhadapan langsung, melalui
telepon misalnya. Tentang permasalahan akad secara tidak berhadapan langsung ini, terdapat
permasalahan di dalamnya, yakni penentuan kapan terjadinya akad jika
dihubungkan dengan kesatuan majelis akadnya sebagai syarat ijab dan qabul. Hal
ini akan dibahas pada bagian majelis akad.
2. Pernyataan
akad melalui tulisan. Selain melalui perkataan lisan, akad juga dilakukan
melalui tulisan. Dalam fungsinya sebagai pernyataan kehendak, tulisan mempunyai
fungsi dan kekuatan yang sama dengan akad secara lisan. Akad dalam bentuk ini
sangat tepat untuk akad yang dilaksanakan secara berjauhan dan berbeda tempat.
Akad ini dapat juga digunakan untuk perikatan-perikatan yang lebih sulit
seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui kesulitan
apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk tertulis
karena diperlukan alat bukti dan tanggungjawab terhadap orang-orang yang yang
bergabung dalam badan hukum tersebut. Dalam hal tidak satu tempat ini, akad
dapat dilaksanakan melalui tulisan dan mengirimkan utusan. Dalam hal ini
terdapat kaidah fiqih: “tulisan bagi orang yang hadir sepadan dengan
pembicaraan lisan orang yang hadir”.[4]
3.
Penyampaian ijab melalui tulisan, bentuknya
adalah bahwa seseorang mengutus orang lain kepada pihak kedua untuk
menyampaikan penawarannya secara lisan apa adanya. Hal ini beda dengan
penerima kuasa, di mana ia tidak sekedar menyampaikan kehendak pihak pemberi
kuasa (al-muwakkil) melainkan juga melakukan tindakan hukum berdasarkan
kehendaknya sendiri atas nama pemberi kuasa, sedang utusan tidak menyatakan
kehendaknya sendiri melainkan menyampaikan secara apa adanya kehendak orang
yang mengutusnya (al-mursil). Bila kehendak pengutus telah disampaikan kepada
mitra janji dan mitra tersebut telah menerima ijab tersebut (menyatakan
qabulnya) pada majelis tempat dinyatakan ijab itu, maka perjanjian telah
terjadi. Bila ijab tersebut disampaikan tanpa adanya perintah dari prisipal,
kemudian diterima oleh mitra janji, maka akadnya dianggap terjadi akan tetapi
berstatus mauquf, karena ia dianggap sebagai pelaku tanpa kewenangan (fuduli).[5]
Bila ijab disampaikan melalui tulisan/surat,
dan penerima surat tersebut menyatakan penerimaannya terhadap penawaran
tersebut, maka perjanjian dianggap sudah terjadi. Apabila penerima tulisan
tersebut tidak menyatakan penerimaannya pada majelis tempat diterimanya surat
tersebut, maka penawaran tidak terhapus, tapi tetap berlaku selama surat
tersebut ada pada penerimanya. Ini beda dengan penawaran melalui utusan,
apabila tidak dijawab oleh penerima penawaran di tempat disampaikannya
penawaran tersebut, maka ijab menjadi hapus dan diperlukan
ijab baru.[6]
4. Pernyataan
Kehendak dengan isyarat. Suatu perjanjian tidak hanya dapat dilakukan oleh
orang yang normal, akan tetapi bisa juga dilakukan oleh orang yang cacat
melalui isyarat dengan syarat jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kehendak
untuk membuat perjanjian. Bila yang berakad adalah orang yang mampu untuk
berakad secara lisan, maka akadnya tidak dianggap terwujud. Ia harus
memanifestasikan kehendaknya secara lisan atau tulisan, karena isyarat meskipun
menunjukkan kehendak, ia tidak memberikan keyakinan jika dibandingkan dengan
keyakinan yang dihasilkan dari akad secara lisan atau tulisan. Demikian
pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyyah.[7]
Hanya saja para fuqaha berbeda pandangan tentang kapan bentuk isyarat ini
digunakan bagi orang yang normal. Ada yang menganggapnya sebagai pengecualian
ketika cara lain tidak dapat dipergunakan. Syafi’i tidak membolehkan
digunakannya bentuk pernyataan kehendak secara tulisan, tentunya untuk isyarat
lebih-lebih tidak membolehkannya. Yang paling fleksibel adalah pendapat mazhab
maliki yang membenarkan penggunaan isyarat oleh siapapun juga sekalipun bukan
orang yang cacat. Akad dapat terjadi dengan segala cara yang bisa menunjukkan
perizinan (ridha) para pihak.[8]
5. Pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati). Seiring dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan
langsung, tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan
kehendaknya. Bentuknya, adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak
yang telah memahami perbuatan perjanjian tersebut dengan segala akibat
hukumnya. Misalnya jual beli yang terjadi di supermarket misalnya, yang tidak
ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang
secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke
meja kasir sambil memberikan sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka
telah memberikan persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi. Namun ini
terjadi dalam permasalahan jual beli.
Fuqaha juga berbeda pandangan tentang jenis pernyataan
ini. Kelompok Hanafiah menganggap sah akad
secara ta’ati dalam setiap akad kebendaan, jika hal ini telah menjadi
kebiasaan sebuah masyarakat,tetapi harga barang harus diberitahukan dengan
jelas. Menurut Malikiyah akad ta’ati ini harus disertai dengan indikasi
yang sangat jelas yang
menunjukkan
kerelaan masing-masing pihak, baik telah menjadi adat atau tidak. Sedang
menurut Syafi’iyyah, akad tidak bisa dilaksanakan secara ta’ati.[9] Terkait dengan permasalahan tersebut, dewasa ini terjadi
penggunaan media yang menghantarkan pada permasalahan kontemporer yaitu akad
dengan menggunakan media teknologi yang canggih dan mutakhir.
Akad Nikah dengan Teknologi Mutakhir
1.
Teknologi Mutakhir
Media atau alat mutkhir yang dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif media mutakhir adalah
a. Hanphone, yaitu alat komunikasi yang
mengeluarkan suara yang dicall atau dihubungi yang berada di tempat lain tanpa
mengenal batas arizona dan wilayah. Hanphone ini memiliki berbagai fitur
canggih yang dikembangkan oleh berbagai perusahaan yang memproduksinya. Salah
satun fiturnya disebut dengan tri-G, fasilitasnya adalah yang menghubungi dapat
saling melihat satu sama lain. Dengan syarat jika kedua hanphone tersebut
adalah memiliki teknologi tri-G tersebut.
b. Telkomfrence, yaitu salah satu teknologi
komunikasi yang lebih canggih dari tri-G namun pemakaiannya tidak sebebas
handphone karena harus membayar mahal ketika menggunakannya. Fitur yang
dimilikinya adalah kualitas suara dan dan video camnya dengan resolusi tinggi
sehingga jelas dapat berhadapan dengan lawan komunikasi secara jelas.
c. Via Satelite, yaitu alat komunikasi dengan
frekuensi yang lebih tinggi dalam berkomunikasi dan tata caranya sama dengan Telkomfrence,
namun perbedaanya adalah melalui satelite. Biasanya digunakan untuk meliput
siaran langsung yang jauh dari studio pada perushaan pertelevisian seperti
Metro TV, TVONE dan TV lainnya.
2.
Penggunaannya dalam Akad Nikah
Pandangan Syariah perlu dijelaskan di sini
bahwa proses pernikahan dalam Islam mempunyai aturan- aturan yang ketat. Sebuah
akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya
adalah ijab dan qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan
dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan
transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena
itu, calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan
atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat
untuk menyaksikan akad pernikahan.[10] Sebagai contoh, bagaimana solusinya
bagi orang-orang yang tempatnya saling berjauhan, sebagaimana yang terjadi pada
diri salah seorang TKW yang berkerja di Hongkong dengan masa kontrak 2 tahun,
kebetulan dia punya kenalan orang dari Solo, keduanya sudah saling mencintai
dan ingin segera melakukan akad pernikahan, sedang kondisi mereka berdua
tidak memungkinkan untuk saling bertemu dalam waktu secepatnya, apa yang harus
mereka kerjakan, menikah lewat telepun, atau bagaimana ?
3.
Rujukan pada Pernyataan Ulama
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Maka
untuk menentukan hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah yang harus
dibahas terlebih dahulu,
1. Calon mempelai laki-laki atau yang
mewakilinya dan wali perempuan atau yang mewakilinya harus berada dalam satu
majlis ketika dilangsungkan akad pernikahan. Pertanyaannya sedangkan mereka
berdua berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan telpun, maka transaksi
antara keduanya dianggap transaksi antara dua pihak yang bertemu dalam satu
majlis?
2. Pernikahan tersebut harus disaksikan oleh
dua orang atau lebih. Pertanyaannya adalah apakah persaksian yang mendengar akad
nikah tersebut sah.?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat
dalam masalah ini.
Ø Tidak bisa diterima. Ini pendapat
Hanafiyah dan Syafi’iyah.Berkata al Kasani, Persaksian orang buta tidak
diterima dalam semua hal. Karena dia tidak bisa membedakan antara kedua belah
pihak. Berkata Imam Syafi’I, Jika seseorang memberikan persaksian, sedangkan
dia buta dan mengatakan: saya menetapkannya, sebagaimana saya menetapkan segala
sesuatu dengan mengetahui suaranya atau dengan meraba, maka persaksian orang
buta tersebut tidak bisa diterima, karena suara mempunyai kemiripan satu dengan
yang lainnya, begitu juga rabaan mempunyai kemiripan antara satu dengan
yang lainnya. Jadi perdengaran saja dalam hal ini tidak bisa dijadikan sebagai
dasar dengan acuhan logika pada orang buta karena tidak bisa melihat.
Ø Bisa diterima selama dia menyakini suara
tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah. [11]Tersebut
di dalam buku al Mudawanah al Kubra, apakah dibolehkan seorang buta
memberikan persaksian di dalam masalah perceraian. Berkata Imam Malik, iya dibolehkan jika ia
mengenali suara tersebut. Berkata Ibnu al Qasim, Aku bertanya kepada Imam Malik
seorang laki-laki mendengar tetangganya dari balik tembok sementara dia tidak
melihatnya, ia mendengar tetangga tersebut mencerai istrinya, kemudian dia
menjadi saksi atasnya berdasarkan suara yang dia kenal. Imam Malik menjawab.
persaksiannya diperbolehkan.[12]
Selain itu jika diqiyaskan pada media lain pada hanphone Tri-G dan
telkomfrece serta via satelite, dengan syarat bahwa ada pernyataan keyakinan
dan bukti-bukti yang jelas bahwa orang yang menerima akad nikah tersebut adalah
benar orang yang dimaksud adalah boleh-boleh saja.
C. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas bahwa akad
nikah dengan teknologi mutakhir adalah boleh saja asalkan ada jaminan dan tidak
ada unsur penipuan yang menyebabkan kerugian kedua belah pihak memplai.
Hikmahnya adalah untuk menjaga
hubungan kedua belah keluarga tetap terjaga dengan baik. Selain itu pernikahan
tersebut bukan untuk dipermainkan dan dipermudah-mudahkan, karena hal tersebut
adalah merupakan hal yang sakral dan suatu ibadah.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin bin Yahya
Ad-Duwaisi, Hubungan Suami Istri dan Perceraian, Penerbit: Qaulan
Karima, tt.
Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode ke – 6 no : 2/1256.
Mustafa Ahmad az-Zarqa. Al-Madkhal al-Fiqh al’Am
Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, tth.
Syafi’i dan Baihaqi, Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah,
Juz. VII.
Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang
Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Wahbah Az-Zuhaili.
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus:
Dar al-Fikr, 1989.
[2] Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang
Teori Akad dalam Fikih Muamalat. (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 124.
[3] Ibid, hlm. 68-71
[4] Mustafa Ahmad az-Zarqa. Op.,cit, hlm. 326.
[5] Syamsul Anwar. Op.,cit, hlm. 137.
[6] Ibid, hlm. 138.
[11] Syafi’i dan Baihaqi, Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir,
(Darul Hijrah, Juz. VII), hlm. 577.
[12]. Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode ke – 6 no : 2/1256) hlm.145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar