http://mahasiswacerdasdankreatif.blogspot.com

Selasa, 06 Januari 2015

AKAD NIKAH MELALUI TEHNOLOGI MUTAKHIR

AKAD NIKAH MELALUI TEHNOLOGI MUTAKHIR


Konsep Dasar Akad Nikah
Pengertian dan Akibat Akad
Pernyataan kehendak yang biasanya disebut sebagai sighat akad, yakni suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul ini merepresentasikan perizinan (ridha, persetujuan) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad.[1]
Agar ijab dan qabul ini menimbulkan akibat hukum, maka disyaratkan dua hal yaitu:
Ø  Adanya persesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai adanya persesuaian kehendak sehingga terwujud kata sepakat.
Ø  Persesuaian kehendak tersebut haruslah disampaikan dalam satu majelis yang sama (kesatuan majelis)
Perjanjian yang dipegangi adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat menyatakan kehendak batin tersebut. Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang digunakan untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagai sighat akad.[2]
  
 Bentuk-Bentuk Akad
Dalam hukum perjanjian Islam, pernyataan kehendak sebagai manifestasi eksternal ini, dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk:[3]
1.      Pernyataan kehendak secara lisan, di mana para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak. Pernyataan kehendak melalui ucapan itu harus jelas maksudnya dan tegas isinya. Ijab dan qabul dapat dilakukan secara langsung dan dapat juga dilakukan dengan tidak berhadapan langsung, melalui telepon misalnya. Tentang permasalahan akad secara tidak berhadapan langsung ini, terdapat permasalahan di dalamnya, yakni penentuan kapan terjadinya akad jika dihubungkan dengan kesatuan majelis akadnya sebagai syarat ijab dan qabul. Hal ini akan dibahas pada bagian majelis akad.
2.      Pernyataan akad melalui tulisan. Selain melalui perkataan lisan, akad juga dilakukan melalui tulisan. Dalam fungsinya sebagai pernyataan kehendak, tulisan mempunyai fungsi dan kekuatan yang sama dengan akad secara lisan. Akad dalam bentuk ini sangat tepat untuk akad yang dilaksanakan secara berjauhan dan berbeda tempat. Akad ini dapat juga digunakan untuk perikatan-perikatan yang lebih sulit seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk tertulis karena diperlukan alat bukti dan tanggungjawab terhadap orang-orang yang yang bergabung dalam badan hukum tersebut. Dalam hal tidak satu tempat ini, akad dapat dilaksanakan melalui tulisan dan mengirimkan utusan. Dalam hal ini terdapat kaidah fiqih: “tulisan bagi orang yang hadir sepadan dengan pembicaraan lisan orang yang hadir”.[4]
3.      Penyampaian ijab melalui tulisan, bentuknya adalah bahwa seseorang mengutus orang lain kepada pihak kedua untuk menyampaikan penawarannya secara lisan apa adanya. Hal ini beda dengan penerima kuasa, di mana ia tidak sekedar menyampaikan kehendak pihak pemberi kuasa (al-muwakkil) melainkan juga melakukan tindakan hukum berdasarkan kehendaknya sendiri atas nama pemberi kuasa, sedang utusan tidak menyatakan kehendaknya sendiri melainkan menyampaikan secara apa adanya kehendak orang yang mengutusnya (al-mursil). Bila kehendak pengutus telah disampaikan kepada mitra janji dan mitra tersebut telah menerima ijab tersebut (menyatakan qabulnya) pada majelis tempat dinyatakan ijab itu, maka perjanjian telah terjadi. Bila ijab tersebut disampaikan tanpa adanya perintah dari prisipal, kemudian diterima oleh mitra janji, maka akadnya dianggap terjadi akan tetapi berstatus mauquf, karena ia dianggap sebagai pelaku tanpa kewenangan (fuduli).[5]
Bila ijab disampaikan melalui tulisan/surat, dan penerima surat tersebut menyatakan penerimaannya terhadap penawaran tersebut, maka perjanjian dianggap sudah terjadi. Apabila penerima tulisan tersebut tidak menyatakan penerimaannya pada majelis tempat diterimanya surat tersebut, maka penawaran tidak terhapus, tapi tetap berlaku selama surat tersebut ada pada penerimanya. Ini beda dengan penawaran melalui utusan, apabila tidak dijawab oleh penerima penawaran di tempat disampaikannya penawaran tersebut, maka ijab menjadi hapus dan diperlukan ijab baru.[6]
4.      Pernyataan Kehendak dengan isyarat. Suatu perjanjian tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang normal, akan tetapi bisa juga dilakukan oleh orang yang cacat melalui isyarat dengan syarat jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kehendak untuk membuat perjanjian. Bila yang berakad adalah orang yang mampu untuk berakad secara lisan, maka akadnya tidak dianggap terwujud. Ia harus memanifestasikan kehendaknya secara lisan atau tulisan, karena isyarat meskipun menunjukkan kehendak, ia tidak memberikan keyakinan jika dibandingkan dengan keyakinan yang dihasilkan dari akad secara lisan atau tulisan. Demikian pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyyah.[7] Hanya saja para fuqaha berbeda pandangan tentang kapan bentuk isyarat ini digunakan bagi orang yang normal. Ada yang menganggapnya sebagai pengecualian ketika cara lain tidak dapat dipergunakan. Syafi’i tidak membolehkan digunakannya bentuk pernyataan kehendak secara tulisan, tentunya untuk isyarat lebih-lebih tidak membolehkannya. Yang paling fleksibel adalah pendapat mazhab maliki yang membenarkan penggunaan isyarat oleh siapapun juga sekalipun bukan orang yang cacat. Akad dapat terjadi dengan segala cara yang bisa menunjukkan perizinan (ridha) para pihak.[8]
5.      Pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati). Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan langsung, tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendaknya. Bentuknya, adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah memahami perbuatan perjanjian tersebut dengan segala akibat hukumnya. Misalnya jual beli yang terjadi di supermarket misalnya, yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke meja kasir sambil memberikan sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka telah memberikan persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi. Namun ini terjadi dalam permasalahan jual beli.
Fuqaha juga berbeda pandangan tentang jenis pernyataan ini. Kelom­pok Hanafiah menganggap sah akad secara ta’ati dalam setiap akad kebendaan, jika hal ini telah menjadi kebiasaan sebuah masyarakat,tetapi harga barang harus diberitahukan dengan jelas. Menurut Maliki­yah akad ta’ati ini harus disertai dengan indikasi yang sangat jelas yang menunjukkan kerelaan masing-masing pihak, baik telah menjadi adat atau tidak. Sedang menurut Syafi’iyyah, akad tidak bisa dilaksanakan secara ta’ati.[9] Terkait dengan permasalahan tersebut, dewasa ini terjadi penggunaan media yang menghantarkan pada permasalahan kontemporer yaitu akad dengan menggunakan media teknologi yang canggih dan mutakhir.

Akad Nikah dengan Teknologi Mutakhir
1.      Teknologi Mutakhir
Media atau alat mutkhir yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif media mutakhir adalah
a.       Hanphone, yaitu alat komunikasi yang mengeluarkan suara yang dicall atau dihubungi yang berada di tempat lain tanpa mengenal batas arizona dan wilayah. Hanphone ini memiliki berbagai fitur canggih yang dikembangkan oleh berbagai perusahaan yang memproduksinya. Salah satun fiturnya disebut dengan tri-G, fasilitasnya adalah yang menghubungi dapat saling melihat satu sama lain. Dengan syarat jika kedua hanphone tersebut adalah memiliki teknologi tri-G tersebut.
b.      Telkomfrence, yaitu salah satu teknologi komunikasi yang lebih canggih dari tri-G namun pemakaiannya tidak sebebas handphone karena harus membayar mahal ketika menggunakannya. Fitur yang dimilikinya adalah kualitas suara dan dan video camnya dengan resolusi tinggi sehingga jelas dapat berhadapan dengan lawan komunikasi secara jelas.
c.       Via Satelite, yaitu alat komunikasi dengan frekuensi yang lebih tinggi dalam berkomunikasi dan tata caranya sama dengan Telkomfrence, namun perbedaanya adalah melalui satelite. Biasanya digunakan untuk meliput siaran langsung yang jauh dari studio pada perushaan pertelevisian seperti Metro TV, TVONE dan TV lainnya.
2.      Penggunaannya dalam Akad Nikah
Pandangan Syariah perlu dijelaskan di sini bahwa proses pernikahan dalam Islam mempunyai aturan- aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul,  sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu, calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.[10] Sebagai contoh, bagaimana solusinya bagi orang-orang yang tempatnya saling berjauhan, sebagaimana yang terjadi pada diri salah seorang TKW yang berkerja di Hongkong dengan masa kontrak 2 tahun, kebetulan dia punya kenalan orang dari Solo, keduanya sudah saling mencintai dan ingin segera melakukan akad pernikahan,  sedang kondisi mereka berdua tidak memungkinkan untuk saling bertemu dalam waktu secepatnya, apa yang harus mereka kerjakan, menikah lewat telepun, atau bagaimana ?
3.      Rujukan pada Pernyataan Ulama
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Maka untuk menentukan hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah yang harus dibahas terlebih dahulu,
1.      Calon mempelai laki-laki atau yang mewakilinya dan wali perempuan atau yang mewakilinya harus berada dalam satu majlis ketika dilangsungkan akad pernikahan. Pertanyaannya sedangkan mereka berdua berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan  telpun, maka transaksi antara keduanya dianggap transaksi antara dua pihak yang bertemu dalam satu majlis?
2.      Pernikahan tersebut harus disaksikan oleh dua orang atau lebih. Pertanyaannya adalah apakah persaksian yang mendengar akad nikah tersebut sah.?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Ø  Tidak bisa diterima. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.Berkata al Kasani, Persaksian orang buta tidak diterima dalam semua hal. Karena dia tidak bisa membedakan antara kedua belah pihak. Berkata Imam Syafi’I, Jika seseorang memberikan persaksian, sedangkan dia buta dan mengatakan: saya menetapkannya, sebagaimana saya menetapkan segala sesuatu dengan mengetahui suaranya atau dengan meraba, maka persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima, karena suara mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya, begitu juga  rabaan mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya. Jadi perdengaran saja dalam hal ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar dengan acuhan logika pada orang buta karena tidak bisa melihat.
Ø  Bisa diterima selama dia menyakini suara tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah. [11]Tersebut di dalam buku al Mudawanah al Kubra, apakah dibolehkan seorang buta memberikan persaksian di dalam masalah perceraian. Berkata Imam Malik, iya dibolehkan jika ia mengenali suara tersebut. Berkata Ibnu al Qasim, Aku bertanya kepada Imam Malik seorang laki-laki mendengar tetangganya dari balik tembok sementara dia tidak melihatnya, ia mendengar tetangga tersebut mencerai istrinya, kemudian dia menjadi saksi atasnya berdasarkan suara yang dia kenal. Imam Malik menjawab. persaksiannya diperbolehkan.[12]
Selain itu jika diqiyaskan pada media lain pada hanphone Tri-G dan telkomfrece serta via satelite, dengan syarat bahwa ada pernyataan keyakinan dan bukti-bukti yang jelas bahwa orang yang menerima akad nikah tersebut adalah benar orang yang dimaksud adalah boleh-boleh saja.

C.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas bahwa akad nikah dengan teknologi mutakhir adalah boleh saja asalkan ada jaminan dan tidak ada unsur penipuan yang menyebabkan kerugian kedua belah pihak memplai.
Hikmahnya adalah untuk menjaga hubungan kedua belah keluarga tetap terjaga dengan baik. Selain itu pernikahan tersebut bukan untuk dipermainkan dan dipermudah-mudahkan, karena hal tersebut adalah merupakan hal yang sakral dan suatu ibadah.


DAFTAR PUSTAKA
 


Amin bin Yahya Ad-Duwaisi, Hubungan Suami Istri dan Perceraian, Penerbit: Qaulan Karima, tt.

Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode ke – 6 no : 2/1256.

Mustafa Ahmad az-Zarqa. Al-Madkhal al-Fiqh al’Am Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, tth.

Syafi’i dan Baihaqi, Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. VII.

Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.


[1] Mustafa Ahmad az-Zarqa. Al-Madkhal al-Fiqh al’Am Jilid I. (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 292.
[2] Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 124.
[3] Ibid, hlm. 68-71
[4] Mustafa Ahmad az-Zarqa. Op.,cit, hlm. 326.
[5] Syamsul Anwar. Op.,cit, hlm. 137.
[6] Ibid, hlm. 138.
[7] Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 104.
[8] Ibid.hlm. 140.
[9] Ibid, hlm.  99-101.
                [10] Amin bin Yahya Ad-Duwaisi, Hubungan Suami Istri dan Perceraian, (Penerbit: Qaulan Karima, tt). hlm. 45.
[11]  Syafi’i dan Baihaqi, Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, (Darul Hijrah, Juz. VII), hlm. 577.
[12]. Majalah Majma’ al Fiqh al Islami, OKI, periode ke – 6 no : 2/1256) hlm.145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar